BAB I
PENDAHULUAN
Kebijaksanaan neraca pembayaran merupakan bagian integral dari kebijaksanaan pembangunan dan mempunyai peranan penting dalam pemantapan stabilitas di bidang ekonomi yang diarahkan guna mendorong pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Di samping itu juga diusahakan tercapainya perubahan fundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap tantangan-tantangan di dalam negeri dan keguncangan-keguncangan ekonomi dunia, seperti yang digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
BAB II
ISI
Neraca Pembayaran (BOP) adalah catatan sistematis dari semua transaksi ekonomi internasional (perdagangan, investasi, pinjaman, dan sebagainya) yag terjadi antara penduduk dalam negeri suatu negara dengan penduduk luar negeri selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) dan biasanya dinyatakan dalam dolar AS. Oleh karena itu, BOP sangat berguna karena menunukkan sturktur dan komposisi transaksi ekonomi dan posisi keuangan internasional dari suatu negara. Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan negara-negara donor juga menggunakan BOP sebagai salah satu indikator dalam mempertimbangkan pemberian bantuan keuangan kepada suatu negara. Selain itu, BOP juga merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi dari suatu negara disamping variabel-variabel ekonomi makro lainnya, seperti laju pertumbuhan PDB, tingkat pendapatan per kapita, inflasi, suku bunga, dan nilai tukar mata uang domestik.
BOP terdiri atas tiga saldo, yakni saldo neraca transaksi berjalan (TB), saldo neraca modal (CA), dan saldo neraca moneter (MA). Saldo TB adalah jumlah saldo dari neraca perdagangan (NP), yang mencatat ekspor (X) dan impor (M) barang neraca jasa (NI), yang mencatat X dan M jasa termasuk pendapatan/pembayaran royalti dan bunga deposito, transfer keuntungan bagi investor asing, pembayaran bunga cicilan utang luar negeri (ULN), dan kiriman uang masuk dari tenaga kerja indonesia (TKI) di luar negeri. Dan transaksi sepihak, yakni yang mencatat transaksi keuangan internasional sepihak atau tanpa melakukan kegiatan tertentu sebagai kompensasi dari pihak pertama. Contohnya seperti hibah atau bantuan luar negeri. Kadang-kadang (tidak setuju), untuk menutupi defisit TB yang digunakan fasilitas khusus dari IMF yang disebut SDRs.
CA adalah neraca yang mencatat arus modal (K) jangka pendek dan jangka panjang masuk dan keluar, yang terdiri atas K pemerintah neto dan lalu lintas K swasta neto. K pemerintah neto adalah selisih antara pinjaman baru yang didapat dari luar negeri dan pelunasan utang pokok dari pinjaman yang didapat pada periode sebelumnya yang sudah jatuh tempo. Lalu lintas K swasta neto adalah selisih antara dana investasi (I) yang masuk, pinjaman swasta dari luar negeri. Dana I terdiri dari dua macam, yaitu I langsung atau disebut juga I jangka panjang atau dikenal dengan sebutan penanaman modal asing (PMA) dan I tidak langsung atau I jangka pendek atau dikenal dengan sebutan investasi portopolio (IP). Berbeda dengan cara pencatatan pada TB, dalam CA, M modal atau arus K masuk dianggap sebagai keuntungan bagi negara bersangkutan, oleh karena itu dicatat sebagai transaksi kredit (positif). Sedangkan arus K keluar (kerugian) dicatat sebagai transaksi debit (negatif).
MA atau disebut juga “Lalu lintas moneter” adalah neraca yang mencatat perubahan cadangan devisa (CD) berdasarkan transaksi arus devisa yang masuk dan keluar dari suatu negara dalam suatu periode tertentu yang dicatat oleh bank sentralnya. Sedangkan perubahan CD atau saldo devisa yang diperoleh dari penjumlahan saldo TB dan saldo CA, jadi bukan CD yang dicatat secara resmi, disebut neraca cadangan (RA). Relasi antara BOP dan CD dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan berikut : CD = BOP = TB + CA
Selisih perhitungan antara RA dan MA disebut error & omission. Karena antara keseluruhan saldo BOP harus nol, maka MA berfungsi sebagai pos pengimbang agar selisih antara RA dan e & o sama dengan 0. Oleh karena itu, di dalam MA tanda (+) berarti defisit (CD berkurang) dan tanda (-) berarti surplus (CD bertambah).
Seperti halnya perdagangan internasional, mobilisasi K antarnegara mempunyai manfaat bagi negara pengekspor maupun pengimpor K tersebut. Proyek I dengan tingkat pengembalian yang tinggi di suatu egara tidak akan dikorbankan karena kelangkaan dana, sementara proyek I dengan hasil yang rendah di negara yang memiliki dana berlimpah dapat terus dilaksanakan.
Manfaat dari adanya I harus dilihat dalam bentuk pertumbuhan output (PDB), kesempatan kerja dan pendapatan, peralihan teknologi (T), pengetahuan manajemen, dan lain-lain.
Bagi Indonesia, K asing diperlukan bukan hanya untuk membiayai defisit TB (M) atau menutupi kekurangan CD, tetapi juga untuk membiayai I di dalam negeri (pembentukan modal bruto domestik). Dalam persamaan TB paling tidak harus dikompensasi dalam jumlah yang sama oleh surplus CA agar CD tidak berkurang. Berarti semakin besar defisit TB, semakin besar arus K masuk yang diperlukan untuk menjaga agar CD tidak berkurang. Jumlah CD Indonesia paling sedikit di antara negara-negara lainnya di negara asia pada tahun 1991-2001, walaupun meningkat terus tiap tahun.
Ketergantungan pada K asing bukan hanya dialami oleh LDCs. Banyak juga DCs atau negara berpenghasilan menengah dan tinggi juga mengalami S-I gap.
Data yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia, UNINDO dan UNCTAD menunjukkan perkembangan arus I internasional dari DCs ke LDCs sangat pesat terutama sejak akhir 1980-an. Perkembangan ini ditandai oleh peningkatan partisipasi dari investor-investor dan lembaga-lembaga keuangan dari DCs di pasar uang/K di LDCs. Arus I dar LDCs bahkan lebih besar daripada arus perdagangan antara kedua kelompok negara tersebut. Menurut Montiel (1993), Taylor (1997), perkembangan ini didorong terutama oleh liberalisasi pasar uang dan K di banyak LDCs termasuk Indonesia menjelang akhir 1980-an yang antara lain menghapuskan pengawasan pemerintah trhadap lalu lintas K dan membebaskan tingkat suku bunga kepada mekanisme pasar.
Bagian terpenting dari arus K resmi yang diterima oleh pemerintah Indonesia setiap tahun adalah bantuan pembangunan dalam bentuk pinjaman dengan bunga sangat murah dan persyaratan-persyaratan sangat lunak, maupun dalam bentuk hibah. Bantuan pembangunan ini digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan, baik proyek maupun program. Ketergantungan pemerintah terhadap bantuan pembangunan dari sumber eksternal berkorelasi negatif terhadap defisit keuangan pemerintah (anggaran pendapatan dan belanja negara, APBN) ang dapat dijelaskan salam suatu persamaan sederhana sebagai berikut : BPN = G – TY
Dimana BPN = bantuan pembangunan neto, G = pengeluaran pemerintah, TY = pendapatan pemerintah. APBN surplus jika TY > G dan sebaliknya defisit jika G > TY.
Karena defisit APBN dibiayai oleh K asing resmi yang sebagian besar dalam bentuk pinjaman, maka semakin besar defisit APBN, semakin besar beban pemerintah dalam pembayaran bunga pinjaman. Selanjutnya, semakin besar pembayaran bunga pinjaman, semakin besar defisit NJ(atau transfer neto) yang kalau lebih besar daripada surplus NP mengakibatkan semakin besar defisit saldo TB. Dengan kata lain, terdapat suatu korelasi antara APBN dan saldo TB yang dapat dijelaskan dengan beberapa persamaan berikut : Y = C + G + I + X – M
Persamaan definisi Y tersebut didapat dari persamaan berikut : Y = C + TY = G + I + X – M
Atau S + TY = G + I + X – M atau S – I + TY = G + X – M
Apabila tidak ada S-I gap atau ekonomi internal seimbang (S=I), maka didapat : TY – G = X – M
(saldo APBN) = (saldo TB), jadi TB mempunyai suatu korelasi yang kuat dengan arus K asing resmi atau BPN.
Salah satu komponen penting dari arus K masuk yang banyak mendapat perhatian di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di LDCs adalah ULN. Isu ini juga menjadi sangat penting bagi Indonesia saat ini, sejak krisis ekonomi nyaris membuat Indonesia bangkrut secara finansial, karena jumlah ULN-nya, terutama dari swasta sangat besar, ditambah lagi dengan ketidakmampuan sebagian besar dari perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk membaya kembali ULN mereka.
Tingginya ULN dari banyak LDCs disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
· Defisit TB.
· Kebutuhan dana untuk membiayai S-I gap yang negatif.
· Tingkat inflasi yang tinggi.
· Ketidakefisiensinya struktural di dalam perekonomian.
Dari faktor-faktor tersebut, defisit TB sering disebut literatur sebagai penebab utama membengkaknya ULN dari LDCs.
Sejak pemerintahan orde baru hingga saat ini, tingkat ketergantungan Indonesia pada Pinjaman Luar Negeri (ULN) tidak pernah menyurut, bahkan mengalami suatu akselerasi yang pesat sejak krisis ekonomi, karena Indonesia membuat ULN yang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai proses pemulihan ekonomi. Pada saat normal selama pemerintahan Soeharto, ULN dibutuhkan terutama dari sisi G di dalam APBN atau defisit keuangan pemerintah (fiscal gap).
Ketiga defisit tersebut yang berkaitan satu sama lainnya (Dornbusch, 1980), dapat disederhanakan dalam bentuk beberapa persamaan berikut : TB = (X - M) + F
Dimana F = transfer internasional atau arus modal masuk neto.
S – I = Sp + Sg – I = (Sp – I) + (TY – G)
Dimana S (tabungan nasional) = SP (tabungan individu/rumah tangga dan perusahaan) + Sg (tabungan pemerintah + TY – G).
Ekonomi domestik dalam kondisi keseimbangan (AS = AD), dimana setiap S domestik neto (= S - I) tercermin dalam akumulasi aset luar negeri neto (X + F – M), maka identitas TB dapat ditulis sebagai berikut : S – I = X + F – M atau (SP – I) + (TY – G) = X + F – M
Perkembangan ULN dapat dianalisis melalui pendekatan permintaan dn penawarn ULN tersebut. Dasar teorinya adalah sebagai berikut. Utang luar negeri sebuah negara ditentukan oleh tingkat optimalisasi dalam penggunaan dana yang ada oleh masyarakat di negara tersebut dengan kesempatan yang ada untuk meminjam uang dari pasar internasional dan pilihan yang ada antara mengkonsumsi dan menanam K (Alun,1992). Selanjutnya, berdasarkan kerangka teori mikro mengenai model optimasi dua periode, analisis optimalisasi dapat juga diterapkan pada tingkat makro. Analisis diawali dengan persamaan mengenai identitas pendapatan. Proksi yang umum digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan sebuah negara adala tingkat Y (atau PDB) dalam nilai rill per kapita, sedangkan indikator-indikator makro yang umum digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan sebuah negara terhadap bantuan atau ULN, misalnya ULN – PDB, atau rasio ULN terhadap nilai total dari perdagangan luar negeri (X+M) atau terhadap nilai X. ULN Indonesia terdiri dari sektor publik (Pemerintah dan BUMN) dan swasta yang digaransi maupun tidak oleh pemerintah.
Berbeda dengan komponen-komponen ULN lainnya, pada prinsipnya fasilitas kredit dari IMF hanya digunakan untuk membiayai defisit BOP suatu negara anggota yang masalahnya bersifat jangka pendek. Namun, untuk pertama kalinya dalam sejarah lembaga keuangan dunia tersebut, yakni dalam kasus Indonesia sejak krisis, IMF terlibat dalam pembiayaan suatu negara yang mengalami defisit keuangan yang sifatnya bukan lagi jangka pendek.
SDR aset berupa cadangan internasional yang diciptakan IMF tahun 1969 sebagai tambahan atau pelengkap atas ketersediaan cadangan devisa yang sudah ada. Kurs SDR ditentukan disetiap hari oleh IMF. Kursnya ditentukan atas perkembangan sehari-hari empat mata uang kuat dunia, yakni dolar AS, yen Jepang, euro Eropa (11 negara Eropa), dan poundsterling Inggris.
Salah satu masalah yang sering muncul dari besarnya ULN adalah masalah pembayaran bunga dan cicilan. Banyak LDCs terjerumus ke dalam krisis ULN karena tidak mampu membayar bunga atau pokok pinjaman yang sudah jatuh tempo. Pembayaran bunga dan cicilan ULN juga merupakan salah satu beban berat Indonesia.
Ada sejumlah rasio yang dapat digunakan untuk melihat mana beban suatu negara dalam pembayaran DS. Salah satu yang sering dipakai dalam penelitian-penelitian empiris adalah rasio DS terhadap X yang dikenal dengan sebutan DSR.
BAB III
KESIMPULAN
Jika sebuah negara telah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu atau pada fase terakhir dari proses pembangunan, ketergantungan negara tersebut terhadap pinjaman luar negeri akan lebih rendah dibandingkan dengan periode pada saat negara itu mulai membangun.
SUMBER ::
· Buku Perekonomian Indonesia, Dr.Tulus T.H. Tambunan.