Dahulu
kala di daerah Teluk Pandak terdapatlah sebuah padi sebesar buah kelapa.
Masyarakat setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya. Padi itu ditemukan
oleh seorang penduduk di sekitar rumahnya. Padi yang ditemukan itu bukanlah
padi lengkap dengan batangnya, namun hanya sebuah biji padi sebesar kelapa
lengkap dengan cangkangnya. Penduduk Teluk Pandak percaya bahwa padi itu
merupakan titisan dari Dewi Sri. Mereka seperti mendapatkan berkah dengan
turunnya padi itu ke tempat mereka.
Saat
musim tanam tiba, masyarakat membawa padi sebesar kelapa tersebut ke sawah yang
akan ditanami. Setelah padi di tanam, masyarakat berkumpul untuk melakukan doa
bersama agar padi yang ditanam mendapat berkah dari Tuhan. Sekelompok muda-mudi
membawakan tari Dewi Sri. Tarian itu diiringi oleh lagu yang bersyair doa dan
pujian kepada Tuhan. Lagu itu mereka namakan dengan Nandung. Kulit padi mereka
pukul-pukul sebagai gendang pengiring tarian Dewi Sri. Waktu terus berjalan.
Musim panen pun tiba. Masyarakat kembali berkumpul dan bersama-sama melakukan
panen. Panen pertama ini mereka lakukan hanya untuk sebagian kecil padi yang
akan digunakan untuk acara makan bersama. Saat akan menuai padi, mereka
menimang-nimang padi titisan Dewi Sri itu sambil melantunkan puji-pujian kepada
Tuhan atas keberhasilan tanaman mereka. Padi yang sudah dituai kemudian diirik
dengan kaki. Setelah itu padi dijemur. Setelah menjadi beras, padi itu dimasak
dan dipersiapkanlah sebuah acara makan bersama. Dalam acara itu padi sebesar kelapa
itu kembali dibawa. Sebelum makan mereka melagukan syair-syair yang intinya
adalah syukuran, doa mohon keberkahan, dan keselamatan kepada Tuhan. Acara
makan pun selesai. Keesokan harinya masyarakat secara bersama-sama memanen
seluruh padi.
Setelah
seluruh padi selesai dipanen, tumbuhlah anak padi dari bekas batang padi yang
tinggal. ini lebih kecil. Mereka menamakan padi yang lebih kecil itu dengan
Salibu. Padi itu ukurannya lebih kecil dari ukuran padi biasa. Salibu itu
kemudian di panen. Setelah dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian
digonseng dan ditumbuk hingga berbentuk emping. Proses menggonseng hingga
menumbuk Salibu dilakukan oleh muda-mudi dari sore hingga malam hari. Selama
proses itu tidak jarang ada muda-mudi yang akhirnya berjodoh. Emping dari
Salibu kemudian dimakan bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang
berjodoh itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar