Kamis, 12 Januari 2012

KOPERASI KREDIT (PAHLAWAN KEMERDEKAAN EKONOMI MASYARAKAT)

Tanggal 17 Agustus 2010 baru kita lewati bersama. Sebagian rakyat Indonesia menganggap hari itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Hari itu bagaikan hanya simpul aliran waktu tertentu tanpa makna. Apalagi mereka menyaksikan secara kasat mata aneka ragam kesulitan hidup masih saja menerpa golongan terbesar masyarakat pertiwi nusantara yang tahun ini merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-65. 
 Ketidak nyamanan rakyat kian memuncak lantaran berbagai ragam perampokan berkelompok dan bahkan menggunakan persenjataan super canggih yang konon hanya dimiliki ‘orang-orang khusus’ negeri tercinta ini. Namun acapkali menjadi pertanyaan kritis kita, “Mengapa para perampok itu bisa memiliki ‘senjata istimewa’ untuk merampok dan membunuh rakyat bangsa ini tanpa prikemanusiaan?”
Sebagian lagi gerah dan geram terhadap tetangganya Malaysia yang katanya bangsa serumpun tetapi selalu memakan rumpun Indonesia untuk kejayaan sendiri negerinya. Di tengah hingar-bingar perayaan HUT Kemerdekaan yang ke-65, ada tukar guling atau barter 3 petugas mulia abdi negara ini dibandingkan dengan 7 nelayan ‘pencuri atau maling ikan’ dari negeri seberang.

Belum lagi ada sentilan bola api panas yang coba dimainkan para politisi untuk melakukan amandemen UUD 1945 hanya mau memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode tanpa mempedulikan kepentingan rakyat. ‘Sayang jika presiden yang sekarang dianggap masih produktif tidak dimanfaatkan hanya karena tuntutan UU yang membatasinya. Pada hal tidak ada salahnya kita bisa merubah atau meng-amandemenkannya’. Sayang seribu sayang kepentingan sekelompok orang elit lagi-lagi mengorbankan kepentingan mulia lebih banyak orang. 
Dibalik itu ada sebagian masyarakat bangsa ini merayakannya dengan penuh antusias dan bergairah. Ada aneka perlombaan yang mengundang rasa tawa bahagia bagi yang menang dan gejolak hati memilukan bagi kelompok yang kalah atau belum memenangkan aneka lomba yang diperlombakan.
Orang-orang tersebut seolah merasa ada magnet yang senantiasa menghipnotis anak negeri ini untuk melakukan berbagai kegiatan dimaksud yang menghantar banyak orang kembali ke tanggal keramat, 17 Agustus Tahun 1945 lalu. Sebab tanggal tersebut memiliki arti tersendiri bagi 250 juta masyarakat kita sekarang ini. Tentu bukan tanpa alasan. Tanggal keramat itu menjadi jembatan awal dan garis demarkasi, kita melepaskan status terjajah dengan menyandang status baru yang lebih bermartabat sebagai negeri bebas dari segala bentuk penjajahan bangsa asing terutama Belanda dan Jepang.

Kemerdekaan Ekonomi
Tentu Pusat Koperasi Kredit (PUSKOPDIT) dan Koperasi Kredit (KOPDIT) di wilayah Kabupaten Ende, Ngada dan Nagekeo tidaklah muluk-muluk dalam usaha memerdekakan anggota dari berbagai himpitan terutama di bidang ekonomi. Data menunjukkan per 30 Juni 2010 mengakses anggota 65 ribu lebih dari 48 koperasi kredit (18 Anggota, 18 Calon Anggota dan 12 Kelompok Binaan), Simpanan Saham: Rp. 179 M lebih, Pinjaman Beredar yang dilepaskan kepada 65 ribu anggota Rp. 266 M lebih dan Kekayaan Rp. 315 M lebih.Sementara program Credit Union Microfinance Innovation/Women Credit Union Microfinance Innovation yakni program inovasi khusus Puskopdit/Kopdit bekerjasama dengan Association of Asian Confederation of Credit Union (ACCU-Bangkok) dalam upaya mengakses lembaga keuangan koperasi kredit di daerah pedesaan yang miskin telah menjaring anggota perorangan 17.466 dengan rincian laki-laki: 7.872 orang dan perempuan: 9.594 orang; simpanan Rp. 85 M lebih, pinjaman yang dilepaskan Rp. 61 M lebih serta tingkat pengembalian 42 M lebih.
Untuk seluruh Indonesia koperasi kredit tersebar pada 32 propinsi dengan 940 koperasi kredit primer dan anggota individu 1.220.335 orang, simpanan 5 Trilyun lebih, pinjaman beredar 5 Trilyun lebih dan kekayaan 6,3 Trilyun lebih. Kecil memang tetapi dibalik angka-angka statistik di atas sesunggguhnya menyiratkan sejumput perjuangan tanpa kenal lelah baik para pencetus ide awal di Jerman serta para perintis atau penggerak gagah berani di Indonesia terutama di Kabupaten Ende, Ngada dan saudara bungsunya Nagekeo.
 Di tengah berbagai aneka lomba penggelontoran uang kepada masyarakat dalam aneka warna papan nama, koperasi kredit melakukan sesuatu yang boleh dikatakan lawan arus dengan mengoptimalkan seluruh kekuatan yang ada pada masyakarat. Potensi yang ada merupakan harta karun yang tidak dapat diambil oleh orang lain serta harus diaktualisasikan secara efektif dan cerdas. Potensi itu dalam bentuk otak dan hati yang memiliki antusiasme untuk terus berusaha.
 Aktivis koperasi kredit menyadari dan yakin seyakin-yakinnya bahwa apabila selalu memberikan bantuan maka rakyat akan semakin ‘lapar dan bergantung’. Permasalahan ekonomi rakyat di negeri ini hanya bisa diatasi oleh mereka sendiri dalam kebersamaan. Pemerintah menyiapkan sarana dan prasarana serta regulasi yang memancing kreativitas masyarakat untuk dengan mudah mengakses pada pusat-pusat ekonomi serta transformasi sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi. 
Salah satu strategi koperasi kredit adalah dengan cara membangun karakter menabung sedikit demi sedikit menghasilkan milyaran bahkan trilyunan rupiah seperti tersaji pada data statistik di atas. W.F. Raiffaisien (1848) sang pendiri pernah menulis, “Setetes demi setetes akan menghasilkan selokan dan akhirnya menjadi sungai”. Atau pepatah tua mengatakan ‘sehari selembar benang, lama-lama menjadi kain’. Penggiat koperasi kredit tidak pernah merasa tergoda menawarkan jalan pintas apalagi budaya instan untuk meningkatkan kesejahteraan (ekonomi).
Gerakan koperasi kredit seakan mau meracik ulang sketsa bangunan perekonomian nasional dan daerah yang gemar menghujani masyarakat dengan berbagai bantuan meski diketahui bahwa bantuan tersebut semakin mematikan daya kreativitas dan meninabobokan orang-orang yang dibantu. Lebih parah lagi kegiatan mulia dimaksud bisa saja akan melahirkan generasi yang hanya ‘tahu menerima’ tanpa mau berjuang untuk memperoleh makan. Padahal para pejuang dan pahlawan kita zaman dahulu telah memberikan contoh, hanya dengan mencurahkan keringat, darah dan bahkan mengorbankan nyawa baru bisa menggapai kemerdekaan dari bangsa penjajah. Profesor Philip G. Zimbardo melalui teorinya ‘The Heroic Imagination Project’ menyentil bahwa sekarang ini kata pahlawan telah memiliki multi tafsir dan sering disalahgunakan. Pahlawan selalu diindentikan dengan sang pemenang di medan perang dan umumnya gelar ini diberikan kepada para tentara. Menurut Zimbardo; pahlawan bisa diraih dengan cara damai dan bukan juga seseorang yang selalu bersifat luar biasa tetapi bisa ditampilkan kapan saja ketika dibutuhkan. Semua orang bisa menjadi pahlawan. Kepahlawanan bisa muncul dalam melakukan hal-hal kecil yang memiliki dampak positif bagi kehidupan pribadi, keluarga dan warga bangsa. Dalam nuansa itu maka pantaslah koperasi kredit bisa dijadikan sebagai pahlawan kemerdekaan ekonomi masyarakat Flores yang memerdekakan masyarakat akar rumput dari belenggu penjajahan ketergantungan, budaya instan dan kosumerisme yang berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar