Dituliskan bahwa salah seorang
karyawan telah menerima surat PHK (pemutusan hubungan kerja) dari perusahaan
tempat dia bekerja. PT SCI melalui managernya mengeluarkan surat dengan nomor
001/SCI/KARY/PEMB-YK/IX/2011 tertanggal 13 September 2011. Alasan pengeluaran
surat tersebut dipaparkan oleh pihak SCI karena karyawan bersangkutan tidak
bersedia menandatangani pembaharuan kontrak dan dianggap tidak mengikuti
peraturan perusahaan. Dan dengan dikeluarkan surat tersebut maka sejak tanggal
14 September 2011, karyawan yang bersangkutan tidak diperbolehkan bekerja lagi
di PT SCI. Dari perspektif karyawan dituliskan bahwa, karyawan yang berangkutan
tidak dapat menerima surat keptusan PHK yang diterimanya tersebut. Hal ini
dapat dilihat dengan keinginannya untuk tetap bekerja pada tanggal 14 September
2001, namun ditolak (tidak diperbolehkan masuk area kerja *) oleh pihak
perusahaan. Karyawan yang bersangkutan merasa bahwa sudah menjadi karyawan
tetap di PT SCI. Yang bersangkutan mulai bekerja di PT SCI sejak 11 September
2008. Dan akhirnya melalui serikat pekerja SBII serta kuasa hukumnya, mereka
melaporkan kasus ini ke Dinsosnakertrans kabupaten. Apa yang dilakukan oleh
karyawan yang bersangkutan sudah sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Pasal 159 menguraikan bahwa apabila pekerja/buruh tidak
menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat
(1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sesuai prosedural yang
bersangkutan sudah melaporkan kepada serikat pekerja serta kasusnya dibawa ke PHI
melibatkan dinsosnakertrans.
Dalam menganalisa kasus ini, saya
tidak melihat pihak mana yang diuntungkan atau dirugikan. Saya lebih suka
menganalisa dalam mendalami fakta-fakta yang bisa dipaparkan secara obyektif
dan yuridis. Tanpa mengesampingkan pemaparan dari pihak karyawan yang
bersangkutan, disebutkan bahwa di dalam surat PHK tersebut alasan cacatnya
surat PHK tersebut karena tidak dituliskan item-item peraturan perusahaan mana
yang dilanggar, serta karyawan yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan
sosialisasi peraturan perusahaan (PP). Ada
beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan kasus diatas, antara
lain:
1.
Dari segi legalitas administrasi perusahaan,
keputusan PHK yang dikeluarkan oleh PT SCI hanya berupa surat pemberitahuan
atau berbentuk surat keputusan (SK), tentu saja kekuatan legalitasnya bisa
berbeda.
2.
Dari segi legal contracting, surat
keputusan/perjanjian penerimaan karyawan yang bersangkutan ketika diterima di
PT SCI secara lisan ataukah tertulis. Apabila legalitasnya tertulis,
konten/item-item dari perjanjian tersebut menyebutkan untuk mempekerjakan
dengan jangka waktu tertentu ataukah tidak ada. Apabila disebutkan untuk jangka
waktu tertentu, berarti karyawan yang bersangkutan adalah karyawan kontrak.
Dengan demikian PT SCI, dan kedua belah pihak wajib melakukan pembaharuan
kontrak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 tahun 2003. Apabila tidak disebutkan
jangka waktunya, dapat dikatakan sebagai karyawan tetap PT SCI, meskipun belum
didukung dengan surat keputusan (SK) pengangkatan. Namun untuk alasan yang
disebutkan terakhir, SK sangat diperlukan. Status karyawan mempengaruhi
perhitungan pesangon juga terhadap efek dari kasus PHK.
3.
Didalam mengeluarkan surat PHK, maka perusahaan
diharuskan se-obyektif mungkin menuliskan alasannya secara detail dengan
menunjuk pada point-point peraturan perusahaan yang menjadi dasar dilakukan PHK
tersebut. Karena di UU No. 13 tahun 2003 telah menyebutkan seperti itu.
4.
Sebelum kita melakukan PHI ke disnaker atau
istilahnya tripartite, maka kedua belah pihak diarahkan terlebih dahulu
untuk melakukan bipartite, yaitu pembahasan PHI antara perusahaan dengan
perwakilan serikat pekerja. Dan hasil dari bipartite tersebut yang nantinya
dapat dijadikan dasar ke tahap tripartite. Namun dalam kasus diatas, berita
mengenai bipartite tidak dipaparkan.
5.
Apapun alasan perusahaan, maka untuk seluruh level
kayawan yang bekerja di suatu perusahaan, wajib mendapatkan sosialisasi
peraturan perusahaan, secara lisan maupun tertulis. Hal ini menjaga hubungan
industrial yang positif antara perusahaan dengan karyawan.
SUMBER ::